Kamis, 21 Januari 2016

Kopi rasa hujan

Give me a cup of coffee and a bucket of flower and i will love you forever.

Hello Friday...

Ah, long time no see..

Apa kabar? Insya Allah sehat yah..

Alhamdulillah sudah bulan Januari 2016. Masih awal tahun nih, masih banyak tenaga yang terkumpul untuk mewujudkan semua rencana-rencana selama setahun ini. Semoga semuanya terwujud yah. Aamiin.
Subuh ini, saya dibangunkan oleh derasnya hujan. Yah, kota Makassar sudah mulai memasuki musim hujan. Setelah berbulan-bulan kemarin hujannya masih sebulan sekali, kayak bayar cicilan motor, sebulan sekali, hehehe. Saya berdoa, semoga hujannya membawa manfaat bagi siapapun hari ini. Setelah beres-beres rutinitas pagi, Bapak buka warkop. Malam ini kami nginap di warkop. Saya juga ikut bantu-bantu (seluruh dunia harus tahu kalau saya anak rajin), ^_^v hahha.

Setelah buka warkop, Alhamdulillah pelanggan mulai datang satu persatu. Saya juga sudah mandi dan cantik hehehe. Walaupun hujan tidak sederas subuh tadi, tapi langit-langit warkop masih saja meneteskan air hujan yang melewati atap seng yang bocor. Bersamaan dengan itu, tetesan air juga ikut mengalir melalui tembok yang bersebelahan dengan salah satu bank milik pemerintah. Saya bersyukur saja, sambil berdoa dalam hati mudah-mudahan bocornya masih bisa diatasi. 

Karena sudah makan pagi, saya rada ngantuk (maklum orang Indonesia). Saya membuat secangkir kopi susu. Sambil menyuruput kopi susu sedikit-sedikit, saya update status di bbm (baca: be be em). Biasaaa, perempuan... Ngapa-ngapain update status. Gitu deh. Nah gara-gara status saya inilah saya kena teguran dari teman sekolah. 

Ceritanya gini...

Status yang saya update bunyinya seperti ini, " Pagi ini, kopi rasa hujan". Trus teman saya ini, langsung bbm saya. Dia bilang kayak gini, "kalau disalah satu daerah di Sulawesi Selatan, penghinaan skali itu kata-kata, Yu."

Trus saya tanya, kenapa? Tolong dijelaskan. Soalnya saya sama sekali tidak mengerti dan baru dengar tentang air kopi rasa hujan itu adalah sebuah kalimat penghinaan. Wow, how come? Dan lucunya hal ini berlaku di daerah bugis? Wow, saya keturunan bugis asli, tanpa campuran dari manapun. Masa saya tidak tahu sih? Apa karena sejak lahir saya tinggalnya di Makassar? Entahlah yah. Tidak ada hubungannya juga, sayanya saja yang kurang info. Hahhaha.

Nah, akhirnya teman saya ini menjelaskan panjang lebar, Bahwa kalimat yang menggunakan "rasa air hujan" itu adalah kalimat kiasan. Jadi, karena teman saya ini adalah seorang fotografer pernikahan, dia sering ke daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya ke daerah yang penduduknya menggunakan bahasa bugis.

Katanya, kalau lagi ada pesta pernikahan, dan ada di antara tamu undangan yang nyeletuk makanannya "rasa air hujan" dan kebetulan di dengar oleh sang empunya hajat, maka akan timbul rasa malu yang luar biasa dari pihak tuan rumah. 

Saya masih kurang ngerti dan masih terus bertanya apa hubungannya kalimat "rasa air hujan" dan makanan yang disediakan oleh tuan rumah?

Ternyata, logikanya gini, air hujan itu kan rasanya tawar, nah kalau ada tamu sampai mengatakan bahwa makanannya "rasa air hujan" berarti makanan itu rasanya hambar. Hal ini juga sekaligus mencoreng arang di wajah tuan rumah yang lagi mengadakan hajatan. Karena makanan yang disajikan itu tidak enak. Akibatnya tuan rumah akan malu berkepanjangan, bahwa makanan dalam pesta yang dibuatnya tidak enak, dan bisa-bisa seisi kampung akan tahu semua dan mengingatnya sampai waktu yang tak terbatas.

Bahkan, bisa berujung pertengkaran loh. Kalau sang tuang rumah ini orangnya mudah tersinggung, pasti tamu yang nyeletuk itu bakalan di ajak adu mulut dan dicari-cari kesalahannya sehingga kadang-kadang akhirnya terjadi adu jotos. 

Waduhhhh, jangan sampai yah teman-teman. Bukannya mengadakan hajatan itu untuk membagikan suka cita kita terhadap sanak keluarga, tetangga dan kerabat. Kalaupun makanan yang kita sajikan hambar, sebaiknya tindakan kita langsung meminta maaf, dan mengganti semua makanan yang ada di atas meja dengan makanan cepat saji yang sama skali tidak ada hambar-hambarnya. Eh, kok ngelantur sih. Hihihi, maap yak. 

Pesan moralnya adalah sedia payung sebelum hujan. Itulah gunanya quality control sebelum makanannya disajikan. 

Syukran, semoga infonya bermanfaat yah guys. Jangan salah ngomong seperti saya Hahaha.

Selamat hari Jumat ^^













Senin, 17 November 2014

When i touch Jekardah

Sekarang saya ada di bawah, 5 tahun yang akan
datang saya pasti di atas!
Assalamu'alaikum..
Selamat pagi.
Foto ini saya ambil waktu di Jakarta sekitar bulan Oktober lalu. Saya suka sekali dengan latar belakang saya ini. Waktu itu, saya dan teman-teman nginapnya di sini. Di Bellezza Suites Apartment. Keren, soalnya saya tidak pernah punya pengalaman, nginap bareng teman-teman kerja di tempat semewah ini. Apalagi, ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ibukota Indonesia :D

Pengalaman pertama lumayan berkesan dan sesuai harapan, ternyata memang Jakarta lumayan menyenangkan. Alhamdulillah lokasi yang saya selalu lewati bukan daerah macet. Jadi saya tidak merasakan kemacetan Jakarta.

Ada pengalaman lucu saat malam pertama tiba di Jakarta, waktu perjalanan menuju apartemen, mobil minibus yang saya tumpangi sama teman-teman ternyata melewati rel kereta api. Pas di tengah-tengah rel, mobil kita berhenti, bukan karena mogok, tapi karena macet! Macetnya karena nunggu lampu merah sih. hahahaha! Bagian yg lucunya, saat salah satu temanku yang namanya Cacu berteriak histeris karena ketakutan kalo nanti tiba-tiba ada kereta yang melintas. Waktu itu dia histeris dan berhasil membuat seisi mobil ikut histeris, kecuali saya yang tertawa terbahak-bahak karena ngeliat mereka semua histeris ketakutan. Tapi, pas saya ngeliyat lintasan kereta kiri kanan yang lumayan gelap gulita saya ngeri juga sih. Hahahaha. Tapi kehisterisan mereka masih saja berlanjut sampai badan mobil hilang dari atas lintasan rel kereta api.

Oh iya, akhirnya saya juga bisa melihat badan kereta api secara langsung. Walaupun saat itu lagi melintas di tengah-tengah pemukiman sih. Luar biasanya, lintasan rel ini, berada di antara pemukiman warga. Wow. Ini benar-benar pemandangan yang jarang skali saya lihat. Untuk ukuran anak Indonesia Timur, kami kebanyakan belum pernah melihat rel kereta api apalagi kereta apinya secara nyata. Karena transportasi semacam itu, belum ada di sini. Makanya saya lumayan eksaitet. hehehe

Selain transportasi, udara dan airnya lumayan cocok dengan paru-paru dan kulit saya. Karena pulang dari Jakarta, kulitku lumayan bersih dan putih. Hihihi. Kalo di Makassar, panasnya memang langsung dari matahari, tapi kalo di Jakarta menurutku panasnya berasal dari polusi kendaraan bermotor deh. Karena Jakarta itu lumayan semrawut sih, kadang-kadang merinding juga kalo dipikir-pikir.

Well, kesan-kesan saya selama di Jakarta kurang lebih kayak gitu. Walaupun tempat yang saya datangi itu cuma di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat sih. Hehehe, dan penamaan tempat di sini juga lumayan ribet. Misalnya nih, saya bilang lagi di apartemen Bellezza di Permata Hijau, trus bakalan di tanya Permata Hijaunya dimana? Jakarta pusat atau Jakarta Selatan? Errggghhh,, ribet nanya alamat di Jakarta. Hahahahah

Oke deh, nanti di sambung lagi yah cerita-cerita tentang Jekardahnya, saya mau lanjutkan misi saya berperang dengan barang-barang yang ada dalam kamar.. Hehhehehe... See yaaaaaa!

Minggu, 10 Agustus 2014

Dia *Part II*

Memandangi setiap paras kukunya, membuatku seolah ingin bercerita pada anak kami kelak bahwa Mamamu jatuh cinta pada paras kuku Ayahmu.
Bukan, ini bukan seperti di film Laskar Pelangi. Tentang Ikal yang mencintai paras-paras kuku A Ling.
Tapi ini tentang caraku mencintai setiap dirinya.
Setiap wangi yang menguar dari pori-pori kulitnya.
Mengagumi setiap gurat urat yang menjalar disepanjang lengan dan punggung tangannya yang kokoh. 
Mencintai setiap irama gestur lakunya, yang lembut, yang sigap, yang cepat juga tegap.
Tarikan nafasnya yang pelan dan teratur, kecuali ketika dia membaui nafasku dengan haru.
Nafasnya dan nafasku bersatu padu dengan wangi yang sama.
Menciptakan setiap rindu yang berulang setiap kami terpisah.
Menghirup dalam-dalam wangi rambutnya.
Menggigit alisnya.
Mengecup pipinya.
Membasahi bibirnya.
Membisikkan cinta di telinganya.
Merangkul lehernya.
Bersandar dibahunya yang kokoh.
Mendengar debar jantungnya.
Mencium aroma feromonnya.
Melihat bibirnya yang kadang mengatup geram, terkadang menyunggingkan senyum, tertawa, dan berbicara panjang tanpa jeda untukku.
Setiap bunyi ponselku yang selalu saja menuliskan namanya dilayar.
Masih dengan debar yang sama. Masih dengan getar yang sama.
Ketika pertama kali, dia menelfonku hanya untuk basa basi.
Memutar berbagai lagu kenanganku sendiri untuknya, lagu yang jika kudengar, pasti untuknya.
Saya tidak pernah tau, bahwa jatuh cinta padanya adalah sesuatu yang tidak dicapai oleh alam bawah sadarku.
Cintaku padanya, ibarat bumi beserta isinya, untuk menjelajahinya, butuh waktu seumur hidupku.
Jika memang itu takdirku, izinkan aku menjelajahinya.
Menyelami kedalaman hatinya.
Mengangkat kepenatan pikirannya.
Dan merebut kelembutan hatinya.
Jika saja waktu itu kuputuskan untuk tidak mencintai senyumnya yang pertama, mungkin saja kami tidak akan dipanggil Mama dan Ayah kelak oleh anak-anak kami.

sampai itu terjadi, muda kami adalah pertarungan sengit.
tua kami adalah pertarungan waktu.
jika bidadari benar adanya, izinkan saya tetap mendampinginya.
bukan bidadari itu!

Surat Cinta Untuk Engkau, Calon Imamku..

Malam ini, dengan desahan angin yang menerpa kulitku.
Membuat desiran yang seakan kurasakan hanya untukmu.
Jika saja kau bisa tau, bagaimana gegap gempitanya pikiranku menelusuri hatimu.
Menjadikanku perempuan tercantik di planet bumi ini.

Cinta menjadi kesyukuran tiada tara dalam hidupku untukmu.
Untuk Tuhanku, untuk Mamaku, untuk Bapakku, dan untukmu calon Imamku...
Jika saja pagi tak usah kurindukan dan malam tak usah kunantikan.
Rasanya debar ini hanya untukmu saja.

Setiap detik tarikan nafasku, mengingat berjuta kenangan yang hanya kita dan Tuhan saja yang tau.
Bahkan ketika kau tak tau bahwa aku ada untuk memintamu.
Ketika senyuman sehabis kecupan membuatku merasa mendapatkan semburat merah pada pipiku.
Ketika tatapan dalam sehabis pelukan yang membuatku merasa seolah akulah satu-satu untukmu.

Ah..
Jika saja muda itu selamanya, bisa saja saya tidak sanggup.
Karena menua bersama adalah rencana kita.
Ambisi kita.

#dibuat ketika malam menjadi sangat mendebarkan dalam nuansa lagu-lagu yang membuaiku dalam lamunan menantikan setiap pesanmu melalui facebook. Dulu. 


Minggu, 02 Maret 2014

Menunggu Ego (Part2)

2

Kamu tidak akan pernah tau, siapa sebenarnya yang telah disiapkan untukmu oleh takdir..
Bisa saja, dia adalah orang yang muncul dihadapanmu saat mulutmu terbuka lebar-lebar untuk menelan semua makananmu..

Rika mendadak muncul dihadapan Flo. Saat Flo sedang sibuk mengetik perbaikan skripsi yang harus dia serahkan ke dosen pembimbingnya siang ini. Jam dinding kamar Flo baru menunjukkan pukul 10 pagi. Bahkan Flo belum mandi dan sarapan pagi. Sejak bangun pagi tadi, dia langsung membuka laptopnya. Membuat jemarinya langsung menari di atas tuts keyboard laptopnya. Memperbaiki setiap kesalahan yang dia lakukan pada skripsinya. Di tengah kesibukannya mengetik, suara Rika memecah konsentrasinya.
“Flo!!! Kamu jangan keterlaluan kali ini!!”, teriak Rika dari arah pintu kamarnya.
Flo hanya berbalik sekilas, lalu kembali sibuk menggeluti laptopnya. Jemarinya tidak berhenti bergerak, walaupun kali ini mulutnya ikut bergerak dan menimpali perkataan sahabatnya itu, “keterlaluan bagaimana? Kamu kenapa sih? Kamu lapar?”.
“Ya ampun!”, Rika memukul jidatnya sendiri. “Kamu memang gadis paling dingin yang pernah saya kenal, Flo!! Ayolah, sekali ini, berilah dia kesempatan. Hanya makan malam biasa kok. Kamu jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri!!”, lanjut Rika menjelaskan hal yang belum dimengerti Flo.
Flo seketika itu juga menghentikan aktifitasnya dengan laptop. Dia menghadapkan tubuhnya ke arah Rika. Memiringkan kepalanya sedikit dan berkata, “kamu bicara apa sih? Daritadi saya tidak mengerti! Makan malam apa? Kapan kamu mengajak saya makan malam,Ka? Seingatku belum pernah?”.
“Siapa yang bilang kalau saya yang mengajakmu? Maksudku, Ego. Kamu ingat Ego kan? Dia menelfonku pagi ini! Bukan hanya pagi ini, kemarin pagi juga! Bukan kemarin saja, tapi sejak dia memberimu nomor ponselnya! Dan kamu tau? Itu sudah dilakukannya sejak seminggu! Oh my God, Flo!!!”, jelas Rika sambil menjambak rambutnya sendiri. Dia terlalu gemas dengan sahabatnya ini. Seseorang yang paling dia perdulikan sejak pertama mereka saling kenal. Seseorang yang dia tau, tidak pernah jatuh cinta terhadap siapapun.
What? Oke. Kamu jelaskan pelan-pelan yah. Saya tidak mengerti satupun perkataanmu, Ka. Kamu ngomongnya terlalu cepat. Saya tidak bisa mencerna kata-katamu dengan baik. Mungkin karena saya lapar yah? Oh iya. Kamu pasti belum makan. Kita sarapan sambil kamu menjelaskan perkataanmu tadi yah. Kamu harus mencoba nasi goreng buatanku. Enak loh. Hehe”, kata Flo tanpa memperdulikan Rika yang sedari tadi frustasi di depan pintu kamarnya.
Sambil menyiapkan sarapan, Flo membuatkan Rika teh hangat. Menurutnya teh hangat dapat meredam emosi sahabatnya. Sambil menyodorkan teh hangat dan sepiring nasi goreng, Flo tersenyum kepada Rika. Dia pun mendengarkan penjelasan sahabatnya ini dengan seksama.
Ego selama ini menunggu telefon dari Flo. Tapi karena Flo tak kunjung menelefonnya sejak hari itu, dia berusaha menghubungi Rika. Dia sudah tau hal ini akan terjadi. Bahwa Flo tidak akan menghubungi atas alasan gengsi seorang perempuan. Namun, Ego tidak habis akal. Saat Flo pingsan, dia meminta nomor ponsel Rika. Dia juga memiliki nomor Flo, tapi demi menjaga perasaan Flo, dia tidak ingin menghubungi duluan. Dia takut dikira terlalu bersemangat walaupun sebenarnya memang benar.
Nasi goreng dipiring Rika tandas tak bersisa. Dia memang paling menyukai nasi goreng buatan sahabatnya ini. Nasi gorengnya habis, penjelasannya pun selesai. Akhirnya Flo dapat mengerti. Bahwa selama ini, perasaannya berbalas. Dia sebenarnya sangat ingin menelfon Ego. Menanyakan kapan mereka bisa makan bersama. Namun dia berusaha melupakan keinginannya itu. Dia takut menghadapi kekecewaan. Walaupun itu sebenarnya hanya dalam angannya. Belum terbukti. Hingga pagi ini, Rika datang kehadapannya dan menjelaskan semuanya. Bahwa Ego juga menginginkan hal yang sama. Menginginkannya dengan sangat.
Kali ini, tanpa berpikir panjang, Flo menekan nomor ponsel Ego dan menunggu nada tunggu. Selama menunggu Ego mengangkat telfonnya, jantungnya berdetak sangat kencang. Iramanya tak beraturan. Membuat nafasnya tersengal saat mendengar suara berat seorang pria berbicara diseberang sana.
“Halo? Flo?”, jawab Ego.
“Iya, Ego. Ini saya, Flo”.
“Saya sudah lama menunggu telefonmu. Kamu sehat kan?”
“Iya, Go. Saya sehat. Kamu?”.
“Saya sakit, Flo. Sejak ketemu kamu, saya sakit. Saya tidak tau harus bagaimana sejak melihat kamu tersenyum ke arahku. Errrrggh, maaf saya sudah berbicara sesuatu yang tidak masuk akal. Saya boleh bertanya satu hal, Flo?”, tanya Ego.
“Iii,ii,iya boleh”, jawab Flo bingung.
“Kamu mau kalau saya jemput sekarang di kost-an?”.
“Maaf Ego, tapi kita mau kemana?”
Please. Kamu jangan menolak saya kali ini, Flo! Tunggu saya, 15 menit lagi saya akan tiba di sana”.
Tut..tut..tut.. .
Ego memutuskan pembicaraan dan tidak menunggu sampai Flo mengiyakan ajakannya. Flo yang keras kepala dan dingin terhadap lawan jenis seketika saja mengganti pakaiannya. Dia bahkan tidak menunggu untuk meminta izin sahabatnya. Rika membalas senyumannya dengan anggukan mantap. Flo yang masih bingung dengan apa yang terjadi dan apa yang akan dia hadapi, tetap saja mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Dia tetap menggunakan pakaian terbaiknya dan merias wajahnya seperti biasa. Dia tidak kehilangan seleranya sama sekali. Flo duduk di ruang tamu sambil menunggu jemputan Ego. Dalam hati, dia bertanya-tanya apa yang diinginkan Ego darinya. Padahal waktu itu, mereka hanya saling tersenyum. Senyum yang tidak pernah Flo peruntukkan pada Ego. Namun Ego tidak menangkap maksud yang salah itu sama sekali. Flo hanya mengikuti nalurinya saja. Seperti ada yang mengganjal jika dia tidak mengikuti keinginan Ego. Dia harus tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Klakson mobil Ego memekakkan telinga Flo yang hampir saja tertidur dikursi ruang tamu kost-annya. Dia segera bangkit dan menuju ke arah mobil Ego. Ego turun dan membukakan pintu untuknya. Romantis. Yup. Sama seperti pikiran Flo. Dia tidak terlalu kaget ataupun takjub. Dia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini dalam angannya.
Sambil melemparkan senyum simpul ke arah Ego, dia masuk dan duduk dengan jantung berdetak tak keruan. Menunggu Ego masuk dan duduk dibalik kemudi. Tepat beberapa sentimeter di sampingnya. Dia kembali berbalik ke arah Ego dan tersenyum manis. Ego juga ikut tersenyum. Senyum yang sangat bahagia menurut Flo. Menurutnya ini aneh.
Sepanjang perjalanan, Flo hanya terdiam. Berusaha memikirkan kalimat terbaik yang bisa dia lontarkan. Supaya tidak terlihat bodoh, pikirnya. Dia tidak ingin merusak suasana dengan mengatakan hal-hal bodoh. Kali ini, Ego yang memecahkan kesunyian setelah beberapa menit dalam diam.
“Maaf ya Flo. Saya sepertinya terlalu lancang sama kamu. Tiba-tiba muncul dan menjemputmu dengan kurang ajarnya”, kata Ego.
“Tidak apa-apa kok. Saya juga minta maaf baru menghubungi setelah sekian lama. Saya sebenarnya tidak ingin mengganggumu”, Flo menjelaskan.
“Hah? Kamu sama sekali tidak mengganggu. Bahkan saya merasa terganggu selama kamu tidak menelfon. Saya selalu berpikir, mungkin saja kamu melupakanku. Dan ternyata benar. Seandainya saya tidak mendesak Rika untuk mendatangimu pagi ini. Ahh, saya tidak tau harus bagaimana jika Rika tak ada”, Ego menjelaskan dengan lancar.
Sesampainya di resto pilihan Ego, mereka memesan makanan dan duduk menunggu dalam diam. Sampai detik ke 2700, Flo sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Kali ini dia hanya sibuk memandang wajah pria yang duduk dihadapannya ini. Pria yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya saja.
Makanan yang sedari tadi dihidangkan dihadapannya, sama sekali tak tersentuh. Baik Flo maupun Ego masih sama-sama tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka hanya duduk terdiam, sesekali tersenyum dan saling memandangi dengan tatapan penuh arti.
Mereka bahkan tidak mengeluarkan suara apapun. Bahkan gumaman pun tidak. Karena merasa sangat gelisah, Flo tiba-tiba nyeletuk dengan nada suara tinggi. Sehingga membuat Ego terkejut. “EH, SEBENARNYA”, celetuk Flo tiba-tiba.
“Maaf, Go, saya tidak bermaksud berteriak. Saya hanya sedikit gugup, hahaha” ucap Flo sambil berderai tawa, memamerkan giginya yang rapi.
“Oh, hehe. Iya. Saya juga kaget. Sebenarnya kenapa, Flo?”, jawab Ego.
“Ehm, sebenarnya, kenapa kamu mengajakku kesini? Tiba-tiba seperti ini? Mungkinkah ada yang ingin kau sampaikan padaku?”, Flo mulai membuka pembicaraan.
“Maafkan atas kelancanganku, Flo. Tapi saya melakukan semua ini, karena saya sudah lama ingin mengajakmu makan bersama. Tapi setelah sekian lama kamu bahkan tidak pernah menghubungiku sama sekali. Saya hanya mencari tau kabarmu melalui Rika. Dia sangatlah membantuku dalam hal ini. Maafkan saya, Flo. Maaf kalau kamu tidak nyaman. Tapi semua ini saya lakukan karena.. “, ucapan Ego terhenti begitu saja.
“Karena apa, Ego?”.
“Karena, saya butuh kamu”.
“Hah? Butuh saya? Memangnya saya bisa bantu apa?”
“Kamu bisa membantu saya dalam banyak hal Flo. Banyak sekali. Bahkan untuk semua yang terjadi dalam hidupku kelak”.
“Maksudnya?”
“Intinya saya sangat membutuhkan kamu. Sangat!”
“Maaf Ego. Tapi saya bingung dengan maksudmu. Sebenarnya apa yang kamu inginkan dari saya? Kita bahkan baru bertemu dua kali. Itupun pertama kali kita bertemu, saya tidak dalam kondisi yang baik”.
“Iya, iya, saya tau. Tapi saya akan menjelaskan semuanya nanti. Intinya, izinkan saya membuatmu jatuh cinta padaku. Saya mohon Flo”.
“APA???”
“Flo! Izinkan saya. Saya mohon, kamu cukup mengiyakan saja dan semuanya akan menjadi tanggung jawab saya”.
“Maaf Ego. Saya rasa, kamu punya masalah dengan diri kamu. Oh iya, saya rasa kamu salah orang. Saya bukan perempuan seperti yang kamu inginkan. Terima kasih untuk makan siangnya. Selamat tinggal”.
Flo langsung saja beranjak pergi. Dengan langkah yang sangat cepat dia meninggalkan Ego. Tanpa menoleh sedikitpun. Ego mengejarnya dan berusaha menahan Flo untuk menyetujui apa yang baru saja dia katakan. Tapi Flo tidak bereaksi sedikitpun. Flo tidak berusaha pergi saat lengannya ditahan oleh Ego. Dia hanya berusaha untuk tidak melakukan perlawanan karena dia tau, dia tidak akan mungkin menang melawan kekuatan tangan Ego. Flo menatap Ego sekali lagi, dengan tatapan dingin yang membuat Ego melepaskan genggamannya. Ego, kali ini merendahkan suaranya, berbicara lebih lembut dan mengatakan pada Flo kalau dia telah melakukan kesalahan. Dia tidak akan memaksakan kehendaknya pada Flo kali ini. Namun, dia memiliki satu permintaan.
“Flo, masih bolehkah kita berteman?”
“Flo?”
“Iya. Masih boleh”.
“Terima kasih Flo. Saya akan berusaha menjadi temanmu yang terbaik, saya janji. Saya janji Flo”.
“Oke, sekarang saya akan pulang. Kamu juga sebaiknya pulang. Sudah hampir sore”.
“Saya akan mengantarmu pulang, Flo. Bukankah tadi saya yang menjemputmu dari rumah? Kamu masih dalam tanggung jawabku”.
“Tidak usah Ego, dari sini saya masih punya tujuan lain. Saya tidak langsung pulang ke rumah. Terima kasih dan sampai jumpa”.
“Baiklah kalau itu maumu. Hati-hati di jalan”, kata Ego akhirnya mengalah. Walaupun dengan sangat berat hati dia melepas Flo untuk pergi sendiri.

Flo pergi dalam keadaan hati yang bingung. Sebenarnya, apa yang baru saja telah terjadi padanya. Tiba-tiba saja, datang seorang pria yang menginginkannya. Meminta izinnya untuk membuatnya jatuh cinta kepada pria itu. Ini benar-benar aneh menurutnya. 

bersambung..

Sabtu, 01 Maret 2014

Fai

Assalamu'alaikum..

Semangat Pagi ^^

Tidak terasa sudah weekend lagi. 
Dulu, setiap weekend begini, saya sering merencanakan pertemuan-pertemuan dengan teman-teman. Entahkah itu hangout di mall, di resto fastfood, jogging di taman kota, ke pantai (paling sering) atau cuma nonton film bareng di rumah. 
Sekarang sudah jarang. Karena kesibukan masing-masing sih. 

Biasanya teman yang paling sering saya hubungi, yah si Fai. Sebut saja dia Fai. Fai itu nama yang dia gunakan di blognya. Walaupun saya tidak pernah memanggilnya dengan sebutan Fai.

Kalo dengan si Fai, saya selalu jalan bareng ke sana kemari. Kayak bebek. Hehehe. 
Cewek yang tanggal lahirnya hanya beda sehari dengan saya ini, hobinya nulis. Mungkin karena dia terinspirasi dengan nasehat bapaknya kali yak, untuk menulis setiap kejadian dalam hidupnya. 

Berteman sejak SMP, kami sekelas waktu kelas VIII. Tapi akrabnya itu pas semester dua, saat kami sama-sama di depak dari kelas yang dihuni oleh siswa-siswi dengan IQ di atas rata-rata -_-", ppfftt (nyesek).

But that's life, dude! (hembuskan nafas) Waktu itu sempat syok beberapa hari berada di kelas yang isinya orang asing semua. Antara terima nasib dan sebal, saya mau tak mau masuk dan belajar bersama orang-orang asing ini. Tapi ada dua hal yang membuat saya bertahan, pertama karena saya dan Fai (dia juga di depak, hahaha *eh*) sama-sama berada dalam keadaan yang "sadis" (agak lebay). Jadilah kami janjian untuk duduk sebangku, sepenanggungan sependeritaan. Waktu itu saya berpikir berada di perantauan -_-. Rasanya menyebalkan dan bikin nyesek :(

Kami harus mulai beradaptasi dengan teman-teman baru, peraturan kelas yang baru, dan yang lebih penting, atmosfer belajar yang benar-benar tak terasa. Karena, sejauh ingatanku memandang *cie*, saya sama skali tidak merasakan adanya persaingan. Bahkan saya dan Fai, dapat dengan mudahnya meraih peringkat I dan II.

Alasan kedua yang membuat saya bertahan adalah motivasi yang sangat besar untuk kembali berada di kelasku yang dulu. Akhirnya, dengan tiket peringkat I & II yang saya dan Fai dapatkan, akhirnya saat penaikan kelas kami berhasil kembali ke kelas kami yang dulu. Rasanya itu, luar biasa skali. Seolah-olah, mimpi kami telah menjadi nyata. Yeyeyeyeye...

Kami tetap duduk sebangku di kelas XII, kami sudah menjadi teman seperjuangan. Tanpa rasa sedih, kami tidak lagi menatap ke belakang (baca: kelas sebelumnya).
Kami telah bahagia di kelas kami yang lama, kembali merasakan atmosfir persaingan yang ketat dalam hal belajar.
Kami masih saja selalu bertengkar hanya karena hal-hal sepele. Saling memisahkan meja dan bangku, pindah ke tempat duduk teman yang lain, atau hanya diam membisu hingga kami bosan sendiri.

Huaaahh, masa sekolah yang sangat luar biasa itu, tidak mampu menggantikan masa apapun setelahnya. Bahkan masa SMA yang katanya masa keemasan bagi para remaja.

Oh iya, hal yang paling berkesan dalam ingatanku tentang Fai adalah saat-saat kami sibuk kursus Matematika di rumah guru tercinta kami bernama Pak Joko. Waktu itu kami persiapan Ujian Akhir Nasional yang di uji cobakan pertama kali di angkatan kami. Dan hal yang berkesan itu adalah saat saya selalu menjemput Fai di rumahnya. Saya berangkat naik becak dari rumah. Waktu itu musim hujan, naik becak berdua, dan memperbincangkan masa depan kami berdua (mungkin). Tapi yang lebih hebat lagi, saat pulang kursus, si Fai selalu ngajak singgah di rumahnya untuk makan maghrib (karena pulang kursusnya pas maghrib) Hihihi, ajakannya ini tidak pernah saya tolak. Entah mengapa.
Mungkin karena saya paling suka diajak makan kali yak?
Hohoho ^_^

Oke deh, nanti kapan-kapan cerita tentang si Fai lagi.




Kamis, 27 Februari 2014

Menunggu Ego (Part1)

1

Setiap musim hujan yang dia lewati, dia selalu merasa gamang.
Merasakan perasaannya yang tak menentu oleh sesuatu.
Sesuatu yang selalu datang setiap kali musim penghujan datang.

Sore itu, dikala awan gelap memeluk langit erat-erat. Seolah tak ingin melepaskan pelukannya. Membuat setiap kehidupan di bawahnya tak kebagian cahaya matahari yang sedari tadi terbakar oleh cemburu. Gelap. Lembab. Sembab. Terjerembab.
Sore yang mendung itu, Flo duduk menghadap jendelanya yang dipenuhi debu. Debu yang mulai menghitam karena sudah lama diabaikan. Mungkin saja dia merasa ramai oleh kehadiran debu itu. Dia mulai menatap kosong ke arah jendela itu, dengan tatapannya yang gamang. Bahkan teh hangat yang dia siapkan sedari tadi, sudah mulai dingin. Sedingin cuaca sore ini. Dia masih saja sibuk dengan segala hal yang berkaitan dengan lelaki itu. Lelaki yang selalu membuatnya panas dikala cuaca dingin. Membuatnya sembab dikala cuaca lembab. Membuatnya terjerembab dikala senyap. Lelaki itu bernama Ego.
Pertemuan pertama mereka kala itu, membuat Flo melupakan tempatnya berpijak. Membuatnya tak mampu membedakan dunia nyata dan khayalan. Bisa jadi dia mimpi atau hanya merasakan sensasi saat menonton film romantis yang sangat dia sukai. Tapi, kali ini nyata. Senyata dia mencubit pipinya dan rasanya benar-benar sakit. Flo mulai tersenyum untuk dirinya sendiri. Namun tak disangka, lelaki itu, membalas senyumannya. Dia tak bermaksud begitu, namun dia memang mengharapkan senyuman itu. Itulah yang tak sanggup dipikirkan oleh nalarnya. Nalar yang selama ini dia latih untuk selalu fokus dan realistis akan sesuatu. Namun kali ini tidak. Detik ini, Flo, dengan segala kewarasannya, mengakui bahwa nalarnya telah lumpuh. Lumpuh oleh pertemuan beberapa detik oleh lelaki itu.
Flo Karnita adalah salah satu mahasiswi tingkat tujuh yang menempuh pendidikan disalah satu kampus ternama di Makassar. Ambisinya sejak Sekolah Menengah Atas kala itu, membuatnya dapat menikmati segala fasilitas gratis di kampusnya sekarang. Dia tidak mengeluarkan sepeser rupiahpun sejak menjadi mahasiswa baru. Dia mendapatkan beasiswa penuh. Perjalanan pendidikannya selama ini sangatlah mulus, tanpa hambatan dari manapun. Bahkan dari orangtuanya yang hidup sangat sederhana. Dia tidak pernah mengeluhkan apapun. Sejak kuliah, dia mencoba hidup mandiri. Walaupun kedua orangtuanya meragukan keberaniannya itu. Bukan karena apa, pemikiran orangtuanya, Flo adalah anak bungsu mereka yang paling manja. Tidak tau apa-apa, bahkan sekedar membedakan garam halus dan gula halus pun tidak bisa secara kasat mata. Flo tetap saja pada pendiriannya. Orangtuanya melepaskan dengan berat hati. Walaupun satu kota, tapi tetap saja mereka tidak dapat bebas mengontrol pergerakan anak bungsu mereka. Flo yang keras kepala tak bergeming dengan keputusannya untuk tinggal sendiri. Di kamar kosnya yang hanya seluas 3x4 meter, dia bebas menentukan setiap letak benda kesayangannya. Untuk ukuran anak perempuan yang manja, Flo tidak memiliki boneka atau sesuatu yang menyerupai itu. Dia tidak menyukainya sama sekali. Katanya, boneka itu bisa saja bergerak sendiri saat malam atau saat dia tak di kamar. Imaginasinya tak bisa dibatasi.
Hingga pada satu pagi yang sangat dia nantikan dengan debaran bertalu-talu, dia berdiri tepat di depan ruang senat fakultasnya. Dia harus menghadiri ujian skripsinya. Ujian yang selama ini sangat dia nantikan. Ujian yang dia nantikan itu berjalan selama sejam. Menghabiskan bergalon-galon keringatnya. Membuatnya kehabisan nafas. Sehingga matanya panas oleh cairan yang diciptakan oleh matanya. Airmatanya tumpah bukan karena sedih atau bersalah, kali ini karena rasa haru yang tak dapat ia bendung sehingga membuatnya menangis mengharu biru.
“Selamat yah Flo”, sambut Rika sahabat karibnya sejak awal kuliah. Rika menyambutnya dengan kedua tangan terbuka, senyum bahagia dan ditutup dengan pelukan erat.
“Makasih yah Ka, saya tidak pernah menyangka bisa sampai di sini secepat ini. Saya harap kamu cepat menyusul”, jawab Flo terbata-bata. Masih memeluk Rika.
“Iya sayang. Mohon doanya saja yah. Ehm, dari sini kamu mau kemana? Kita makan yuk? Merayakan kesuksesan kamu!!”, ajak Rika.
“Oke. Tunggu sebentar yah. Saya mau bereskan beberapa hal dulu dengan pihak jurusan. Kamu tunggu di sini. Jangan kemana-mana!”, Flo menjelaskan.
“Oke bu boss. Siap!”, jawab Rika dengan gerakan hormatnya.
Duduklah mereka berdua di kafe favorit mereka sejak dulu. Kafe yang tidak pernah lekang oleh waktu kata Flo. Kafe yang tidak akan pernah dia tinggalkan sampai tua, janjinya. Seperti biasa, Flo memilih duduk dekat jendela kaca yang tirainya tersingkap karena matahari tidak terlalu terik kali ini. Flo dan Rika duduk berhadapan. Mereka menganut paham yang sama, bahwa ketika dua orang akan makan bersama, maka duduknya harus berhadapan. Itu lebih romantis, lebih saling menghormati, dan lebih praktis menurut mereka.
Saat sedang asyik menyantap burger favoritnya, Flo, yang membuka mulutnya lebar-lebar dan bersiap menyuapkan burger besar itu ke mulutnya, tiba-tiba saja pintu masuk didorong oleh sesosok yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Flo yang sedari tadi menahan lapar dan kehabisan tenaga karena ujiannya, mendadak kenyang dan tak bisa apa-apa. Matanya yang bundar membuatnya tak dapat berpaling dari sosok tadi. Sosok lelaki yang selalu ada dalam imajinasinya. Dia meletakkan kembali burger itu ke piringnya. Rika yang sedari tadi berbicara tak disimaknya. Tiba-tiba saja, perut Flo seperti dipenuhi oleh sesuatu. Matanya tak dapat berkedip. Mulutnya sedikit terbuka. Badannya kaku dan mengeluarkan bulir-bulir keringat yang banyak dari pelipisnya. Rika yang sedari tadi tak menyadari hal ini, tiba-tiba ikut terdiam. Dia heran dengan tingkah laku sahabatnya ini. Selama ini, Flo tidak pernah seperti ini, bahkan saat sakit sekalipun. Karena penasaran, Rika mengikuti tatapan mata sahabatnya, dan ikut memperhatikan sesuatu yang se-daritadi mencuri fokus sahabatnya itu.
Lelaki ini hampir sempurna. Dalam arti tidak sebenarnya. Maksudnya, sempurna dalam imagi Flo. Sosok ciptaan yang tidak pernah dia harapkan kehadirannya secara nyata. Senyata saat ini. Dihadapannya. Membuat senyum Flo mengembang untuk dirinya sendiri dan membuatnya tak dapat memalingkan wajahnya sesenti pun. Dia takut penglihatannya salah dan menghilang begitu dia memalingkan wajah.
Sosok itu, menatapnya tajam. Menatap tepat ke arah Flo, ikut tersenyum. Senyum yang jelas-jelas ditujukan padanya.
Seketika itu juga, Flo takjub. Perutnya seperti penuh, bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipisnya. Dia pikir beberapa detik tadi hanya dalam imaginasinya. Tapi lelaki itu tersenyum kepadanya. Menurutnya ada yang salah. Entah apa. Flo tak dapat menemukan kata-kata yang tepat. Dia hanya menatap ke arah lelaki itu. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Flo sama sekali tidak mengingat apapun.
Saat membuka matanya, Flo merasakan kepalanya sangat sakit. Seperti habis dihantam batu. Dia tidak dapat menggerakkan kepalanya sama sekali. Ada tangan yang terulur memijit pelipisnya, tangan itu milik Rika. Saat ini dia berada dalam kamarnya sendiri. Dia baru bisa mengidentifikasi semuanya setelah beberapa menit membuka mata.
“Masya Allah Floooo. Kamu tadi kenapa sih? Wajahmu pucat pasi seperti melihat hantu? Kamu keringatan, tidak bergerak, dan pingsan di kafe”, ujar Rika tanpa berhenti bernafas.
“Aa..aapa?? Saaa, saaa, saya pingsan?”, tanya Flo terbata-bata dengan mata melotot.
“Iyaaaaa. Kamu tadi sepertinya baik-baik saja. Kamu makan seperti biasanya. Wajahmu sangat normal. Tapi tiba-tiba saja kamu tidak bergerak karena melihat sesuatu atau seseorang, aahhh entahlah apa. Saya tidak tau sampai kamu pingsan begitu saja di tempat dudukmu. Untung saja kamu tidak jatuh tersungkur di lantai yang kotor itu. Untung saja kamu jatuh ke depan. Huuffft!”, cerocos Rika dengan nada kalut sambil membuang nafas panjang.
Sambil menyodorkan teh hangat, Rika menyambung perkataannya, “saya benar-benar bingung tadi. Kamu sebenarnya kenapa sih Flo? Kamu habis melihat hantu yah? Ya ampuunnn! Untung saja ada yang berbaik hati menggendongmu masuk ke taxi tadi. Motor kamu saya titip di kafe, sebentar saya ambilkan untukmu”.
“Apa? Siapa yang menggendong saya tadi? Memangnya kenapa kamu tidak menunggu saja sampai saya siuman di sana?” jawab Flo sambil menghirup teh hangatnya.
“Hah? Menunggu kamu siuman? Oh God! Seandainya saya melakukan itu, mungkin saja kita berdua sudah jadi tontonan selama sejam oleh pengunjung kafe. Lagipula kenapa saya harus menunggu dalam keadaan panik? Kamu jangan mengajakku ikut-ikutan gila!” Balas Rika sambil mendengus kesal. “Flo-ku tersayang, kamu tau? Sudah sejam orang yang menggendongmu menunggu di ruang tamu kost-an mu. Saya tidak mengizinkannya masuk ke sini menungguimu siuman. Saya tidak bermaksud kasar, tapi karena dia seorang pria yang tidak saya kenal. Oke. Kalau kamu sudah cukup sehat, silahkan kamu keluar dan menemuinya”, sambungnya.
Flo yang sedari tadi masih bingung dengan keadaannya sendiri tidak banyak mempertanyakan siapa gerangan yang menunggunya di luar. Dia hanya berusaha bangkit dari tidurnya dan memijit-mijit pelipisnya dengan mimik sedikit meringis. Dia langsung bangkit dan menuju pintu untuk mengucapkan terima kasih kepada pahlawannya itu. Tapi pertanyaannya, kenapa pria ini menunggunya hingga siuman? Apa yang dia inginkan? Imbalan? Uang? Atau apa? Ahh, Flo tidak dapat memikirkan apapun saat ini.
Saat dia membuka pintu kamarnya, dia segera menuju ruang tamu kost-annya. Menghadapi sang penolong untuk mengucapkan terima kasih yang mendalam. Saat sudah berhadapan dengan penolongnya, kali ini, Flo kembali mematung. Reaksinya sama seperti di kafe tadi. Dia bahkan tidak bergerak sesentipun. Namun, kali ini situasinya dipecahkan oleh suara yang keluar dari bibir penolongnya itu. Suara yang terlalu berat. Membuatnya ngantuk saat mendengarnya. Seandainya ini film romantis yang selalu dia tonton di laptopnya, dia sangat ingin menekan tombol pause, lalu beranjak untuk tidur. Tapi ini nyata. Senyata rasa sakit di pelipisnya.
“Kamu sudah siuman? Kamu baik-baik saja?”, suara lelaki penolong memecahkan suasana.
“Ii..iiya.. . Saa, saa, saya ba,ba,baaaik”, jawab Flo dengan gelagapan. Masih mematung, Flo mengusap bulir-bulir keringat yang menderas dari pelipisnya yang sakit.
Sambil tersenyum geli, “kamu tadi kenapa? Kamu sakit? Kenapa saat saya masuk ke dalam kafe, kamu seperti melihat hantu? Saya sangat kaget saat itu. Saya fikir sudah membuat kejahatan. Tapi saya sama sekali tidak mengenalmu. Tapi kamu tersenyum padaku. Saya membalas senyummu. Tapi kamu malah jatuh pingsan?” ujar lelaki penolong kepada Flo.
“Ehm, maafkan saya. Saya tidak bermaksud membawa anda ke dalam situasi aneh seperti ini”, kata Flo kemudian.
Sambil mengulurkan secarik kertas, lelaki penolong tadi berdiri, “maukah kamu menelfonku saat kamu sehat nanti? Saya ingin mentraktirmu sebagai tanda permintaan maafku atas kejadian hari ini. Oh iya, ini nomor ponselku. Kamu bisa menghubungiku kapan saja kamu siap. Oh iya satu hal lagi, nama saya Ego. Kamu Flo kan? Saya tau dari Rika. Maafkan saya, Flo. Saya harus segera pergi”.
Ego bergegas pergi. Flo yang ditinggalkan dengan secarik kertas dan kebingungan terduduk lunglai di lantai. Dia tidak tau harus berbuat apa kali ini. Kakinya sangat lemas rasanya. Dia bahkan tidak pernah menyangka hal ini akan menimpanya.
Malam harinya, Flo yang sudah merasa baikan, mulai menyalakan laptopnya. Memutar playlist lagu-lagu favoritnya, yang dia pilih secara acak. Sesuai kenangannya, katanya. Setiap fase dalam hidupnya, memiliki lagu kenangan tersendiri. Belum tentu juga lagu yang sedang in saat itu. Bisa jadi, lagu lama yang sering dia dengar dan menciptakan kenangan disaat mendatang. Kali ini, lagu-lagu yang ada dalam playlist-nya adalah lagu milik Mocca. Dia mendengarkan lagu-lagu itu dan mendapati dirinya berada dalam kenangan beberapa tahun yang lalu. Saat dia masih semester dua. Masih sangat segar dalam ingatannya, ketika dia baru mengenal film-film romantis. Film yang membuat penontonnya ketar-ketir oleh berbagai perasaan yang sulit ditebak. Waktu itu, Flo sangat menggilai semua film drama romantis yang berasal dari negeri Paman Sam. Dia bahkan tidak menunggu sampai dosen keluar dari kelas untuk memutar film itu di laptopnya. Film-film itu membuatnya berimajinasi. Membuatnya ikut merasakan segalanya, seorang diri.

Kejadian hari ini membuat Flo tidak habis fikir. Dia tidak pernah mempercayai apa yang baru saja terjadi padanya. Seketika saja semua terjadi dihadapannya. Sosok lelaki yang ada dalam kepalanya, yang hanya ada dalam angannya, mendadak muncul saat perayaannya setelah menyelesaikan ujian skripsi bersama Rika.

bersambung..
 

Diari Ayu Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang